Dalam Islam, Usia Berapakah Boleh Menikah?





Menikah di usia muda saat ini dianggap aneh. Bahkan, kadang menjadi sorotan. Padahal, menikah di usia muda atau pernikahan dini memiliki banyak maslahat bagi pemuda. Terlebih, pada era informasi dan globalisasi sekarang ini yang godaan menjaga kehormatan dan kesucian jauh lebih sulit daripada era-era sebelumnya.

Menikah di usia muda, seperti sabda Nabi, membuat pemuda lebih mudah menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan. Beliau bersabda:
:
Wahai pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu maka hendaknya menikah, karena ia lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab ia dapat mengekangnya. (HR. Bukhari)

Dalam hadits di atas, Rasulullah menggunakan istilah syabab yang dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan menjadi pemuda. Siapakah yang dimaksud syabab dalam hadits tersebut? Fauzil Adhim dalam buku Indahnya Pernikahan Dini menjelaskan, syabab adalah sesesorang yang telah mencapai masa aqil-baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun.

Masa aqil baligh ini umumnya telah dialami pada rentang usia sekitar 14-17 tahun. Salah satu tanda yang menjadi patokan aqil baligh adalah datangnya ihtilam (mimpi basah). Akan tetapi, pada masa sekarang, datangnya ihtilam sering tidak sejalan dengan telah cukup matangnya pikiran. Sehingga generasi yang lahir pada zaman ini banyak yang telah memiliki kematangan seksual tetapi belum memiliki kedewasaan berpikir.

Jika seorang laki-laki telah mencapai aqil-baligh dan memiliki baah, mampu menunaikan kewajiban baik batin maupun lahir (materi), ia dianjurkan oleh Rasulullah untuk segera menikah. Jadi secara fisik ia telah mengalami kematangan seksual, dari segi akal ia telah mencapai kematangan berpikir (ditandai dengan sifat rasyid dasar yang mampu mengambil pertimbangan sehat dalam memutuskan sesuatu dan bertanggungjawab), dan dari segi maliyah ia bisa mencari nafkah, ia disunnahkan untuk segera menikah meskipun usianya masih 20-an tahun.

Bagaimana dengan pemudi (wanita)? Untuk para gadis, syaratnya bahkan lebih mudah. Sebab, ia tidak seperti laki-laki yang dibebani kewajiban mencari nafkah. Sehingga, asalkan ia sudah aqil baligh (ditandai dengan menstruasi) dan memiliki kematangan berpikir, ia boleh dan dianjurkan untuk menikah. Tentu saja bagi keduanya, pemuda maupun pemudi- bekal agama yang sekaligus membuatnya dewasa dalam mengarungi bahtera rumah tangga perlu untuk dimiliki.

Karena itulah kita mendapati di dalam sirah nabawiyah dan sirah shahabiyah, para shahabat dan para shahabiyah telah menikah di usia mereka yang masih sangat muda. Fatimah Az Zahra menikah pada usia 19 tahun, sedangkan Ali bin Abu Thalib saat itu berusia 25 tahun. Rasulullah sendiri juga menikah di usia 25 tahun.

Jika Ali dan Fatimah menikah pada saat keduanya di usia muda, pernikahan dalam Islam tidak selalu seperti itu. Rasulullah yang menikah pada usia 25 tahun, saat itu istri beliau Khadijah telah berusia 40 tahun.

Yang terkenal menikah di usia paling muda adalah ummul mukminin Aisyah. Menurut sebagian riwayat, beliau dinikahi Nabi pada usia 7 tahun kemudian mulai berumah tangga pada usia 9 tahun. Tetapi ada data berbeda yang menyebutkan bahwa beliau dinikahi oleh Rasulullah pada usia 14 tahun. Wallahu alam bish shawab.

Seperti Rasulullah dan Aisyah yang usianya terpaut jauh, Utsman bin Affan juga pernah menikah dengan gadis belia. Saat rambut Utsman telah memutih, beliau menikah dengan Nailah yang masih berusia 18 tahun. Namun begitulah, Islam menghadirkan kebahagiaan dalam rumah tangga tanpa peduli usia. Menikah dengan sesama usia muda mengandung banyak berkah. Namun, menikah saat muda dengan pasangan yang jauh lebih dewasa juga terbukti tidak bermasalah. Dari niat, segalanya dimulai. Dan dari niat, Allah menilai. [bersamadakwah]

Follow On Twitter